Rabu, 11 April 2012

PUISI - PUISI SOBIH ADNAN.

 ADE

Tiba-tiba kamu ada, tepat di halaman pertama, saat lembar-lembar lain lusuh penuh lipatan, kamu membuka, “Buku ini indah sayang? Berisi pengalaman-pengalaman”. Katamu.
Iya, pengalaman tentang danau yang kau birukan dengan luas laut hatimu.
Aku terbelalak, sapu lidi sihir ini tak mampu terbang, terikat rindu-rindu.
Kusebut kau sebagai sosok tanpa nama. Aku cukup menyapamu –A-, mengawaliku tanpa akhir, bulat seperti bumi. Berputar, tanda ia hidup.
Sayang,  tuliskan nomor ponselmu segera, tepat di dadaku, agar setiap detak. Menghubungimu.
Cirebon, 5 April 2012


EKUESTRIAN
Aku di arah-arah kiblat, mengantar matahari yang menuju ke bawah, hendak merebus cemburu-cemburu kita. Segeralah masak, agar lebih mudah dilahap burung-burung Melayu, dan tak mengganggu kita (lagi).
Di bangku taman ke dua, telah kutitipkan sesuatu untukmu, sebuah surat gundah gulana yang kusemprot dengan minyak awan-awan, agar sedikit putih. Tulislah jawabanmu, di sana juga.
Di negeri seberang, tak ada lagi purnama, jikapun serupa, dia hanya segumpal rinduku yang terpancar ke segala sinar, tertolak dinding dan jarak.
Sedang apa kau di sana? Di pagar taman kota ini kujemur kaos-kaos dengan warna kesukaanmu, agar angin tahu dan menangis, lalu hujan akan mengabarimu, bahwa; aku rindu.
Kuala Lumpur, Oktober 2011



KETITANG I
Sungainya mengalir dari kampung kopyah dan sarung, asri sekali.
Sesekali terdengar para santri membaca huruf A dengan Alif , dan menumpahkan minyak tanah ke dalam bambu untuk obor-obor kecil. Sebuah surau dijadikan tempat mengaji dan memaknai purnama.
 Mbah Asror namanya, membagi pelita-pelita secuil itu, kepada mereka menjadi kuat agama-agama. Oleh mereka menjadi taman bunga untuk bangsa.
Kini, tiada lagi. Hanya ada lintasan jalan raya penuh semangat. Semangat acuh keluar masuk tanpa permisi.
Cirebon, 9 Juni 2011



KETITANG II
Kwista. Berjejatuhan menandai Shubuh-shubuh ada.
Kami berebut, bersama sholawat di atas memolo surau.
Ah, sebelia ini kami mengerti rindu,
Sesuatu yang datang dengan tiba-tiba,
Tanpa nomor, perihal, atau ditandatangani oleh siapa.
Rindu, kadang kami maknai sebagai tanda pergantian musim.
Jika hujan, sungai-sungai akan menjadi milik kita,
Dan dalam terik, kami menerbangkan layang-layang, yang tertulis harapan dan cita.
Sampai kami dewasa, cita-cita kami tak pernah turun, susah payah kami memanggilnya. Bismillah.
Cirebon, 14 Agustus 2011
* Kwista adalah nama buah yang biasa ditemukan di kampung-kampung. Dengan bentuk serupa batok kelapa, biasa diolah dengan campuran es semacam kolak.




KETITANG III
Belum sembab pipi kami tertampari air mata sendiri.
Bapak dengan kretek seadanya, mengajari kami tentang kesabaran.
Kami rindu, keikhlasannya sering terintip dari dalam kantung-kantung bajunya yang lusuh,
Sosok sesederhana ini, langka, hanya ada di kampung-kampung. Itupun, telah pergi. Satu...satu.
Untuk sekedar mengenang, kami sering mengapungkan pesawat kertas yang sudah tertulisi harapan-harapan, menuju ke utara, arah negeri-negeri penguasa.

; Bapak presiden, dan para anggota dewan yang terhormat.
Cirebon, 30 Maret 2012
Sobih Adnan (Obic Adnanie) adalah mahasiswa Pemikiran Islam (Ushuluddin) di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Pemimpin Redaksi majalah LATAR, dan aktif di Lembaga Kebudayaan Mahasiswa (LKM) RUMBA GRAGE Cirebon. Buku yang pernah ia terbitkan adalah Antologi Sastra “Nyanian Gagang Telepon”. PT. Wedyatama Widya Sastra (WWS) : 2009. 




Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar