Kalau saat ini, Anda melakukan browsing dengan Google, Anda pasti akan menemukan gambar resleting (Belanda: ritssluiting, atau Inggris: zipper) pada logo search engine tersebut. Ternyata, 24 April, 132 tahun lalu, merupakan hari kelahiran sang penemu ritssluiting, Gideon Sundback.
Sejak aksesoris busana ini ditemukan pada 1914, sejak itu lah seni
berbusana berkembang pesat. Resleting ini mampu memainkan peran
gandanya, sebagai alat pembuka mempermudah pemakaian busana, dan juga
sebagai aplikasi detil yang menghias sisi-sisi busana.
Resleting sendiri diciptakan menyusul ditemukannya kancing di tempat kerjanya, Universal Fastener Company.
Ia mulai memikirkan untuk membuat pengait pakaian yang lebih aman dan
cepat dalam penggunaannya sebagai pengganti kancing. Istilah ritssluiting
sendiri dipopulerkan oleh BF Goodrich di tahun 1923, setelah ia
memasangnya pada sepatu boots yang diproduksinya. Namun, penggunaan
resleting mulai berkembang pada pakaian pria dan anak sejak tahun 30an.
Tak mau kalah, desainer Elsa Schiaparelli yang terkenal dengan ide-ide
cemerlang dalam mendesain pakaian, menggunakan resleting ini di gaun rancangannya, pada tahun 1933. Dari sini kemudian, alat serupa rel ini digunakan pada pakaian wanita.
Namun, penggunaan resleting justru menyebar ke seluruh dunia saat
Perang Dunia II karena seluruh pakaian dan celana panjang para tentara menggunakan resleting modern sebagai pengeratnya.
Anehnya, resleting sempat dilarang penggunaannya pada pakaian wanita karena dianggap teralu gampang dibuka sehingga menarik secara seksual. Alhasil, resleting tidak digunakan lagi pada pakaian wanita hingga akhir tahun 50an.
Resleting kembali digunakan saat trend fashion berkembang mengarah pada pakaian yang pas dengan lekuk tubuh. Awalnya, resleting diaplikasikan di bagian tengah punggung pada gaun, serta di depan rok dan trouser.
Pada tahun 2009, banyak rumah label fashion, seperti Marni, Miss Selfridge, Dorothy Perkins, mengembangkan aksen resleting pada koleksi Autunm/winter mereka. Marni, misalnya, mengembangkan blus dengan aksen resleting bertumpuk. Warna- warni pada resleting juga digunakan untuk menciptakan efek color blocking.
Tak mau kalah, desainer Elsa Schiaparelli yang terkenal dengan ide-ide
cemerlang dalam mendesain pakaian, menggunakan resleting ini di gaun rancangannya, pada tahun 1933. Dari sini kemudian, alat serupa rel ini digunakan pada pakaian wanita.
Namun, penggunaan resleting justru menyebar ke seluruh dunia saat
Perang Dunia II karena seluruh pakaian dan celana panjang para tentara menggunakan resleting modern sebagai pengeratnya.
Anehnya, resleting sempat dilarang penggunaannya pada pakaian wanita karena dianggap teralu gampang dibuka sehingga menarik secara seksual. Alhasil, resleting tidak digunakan lagi pada pakaian wanita hingga akhir tahun 50an.
Resleting kembali digunakan saat trend fashion berkembang mengarah pada pakaian yang pas dengan lekuk tubuh. Awalnya, resleting diaplikasikan di bagian tengah punggung pada gaun, serta di depan rok dan trouser.
Pada tahun 2009, banyak rumah label fashion, seperti Marni, Miss Selfridge, Dorothy Perkins, mengembangkan aksen resleting pada koleksi Autunm/winter mereka. Marni, misalnya, mengembangkan blus dengan aksen resleting bertumpuk. Warna- warni pada resleting juga digunakan untuk menciptakan efek color blocking.
Tidak kebayang kan bagaimana industri fashion saat ini kalau Gideon Sundback tidak menciptakan resleting?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar